"Hush! Hush!
Horokotoyok!"
Teriakan khas Mbah Sabiun
kala menggembalakan kambing-kambingnya. Tiap pagi dan sore hari teriakannya
lantang terdengar. Tak ayal,kala itu, anak-anak seusia saya mentertawakannya.
Tapi Mbah Sabiun tak menanggapi kami. Tak pernah marah. Malah beliau selalu tersenyum,
memperlihatkan giginya yang hitam karena suka mengunyah tembakau dan
kapur sirih. Saya tak pernah melihat Mbah Sabiun merokok. Mbah Sabiun yang sudah berusia senja itu mengidap asma. Bunyi nafasnya pun terdengar nyaring.
Hosh! Hosh!Ngik!
Mbah Sabiun sengaja
menyuarakan kata “Hosh” dengan lantang. Kami semakin terpingkal dibuatnya. Mbah
Sabiun malah terkekeh senang.
Ada sekitar 20 kambing
miliknya. Pernah suatu sore dan hujan turun
rintik-rintik, kambing-kambing yang berbulu coklat licin dan pantang air itu berlarian tak tentu arah. Mbah Sabiun pontang-panting dibuatnya.
Ctarr! Ctarr!
Dengan tali pecutnya yang membahana di udara, Mbah Sabiun bekerja ekstra keras mengendalikan lari
kambing-kambingnya untuk pulang. Mbah Sabiun tidak memecut kambing-kambing itu. Beliau hanya butuh efek suara pecut saja dalam mengendalikan ternak kesayangannya itu. Tubuh kecilnya pun terpeleset di tanah yang becek
dan licin.
Mbah Sabiun hidup bersama
istri dan seorang anak perempuannya. Rumahnya dari bilik bambu semua. Kandang kambingnya bersebelahan dengan dapur.
Istrinya dikenal galak dan suka melempari anak yang nakal dengan kerikil. Kami memanggilnya Mbah Sabiun Perempuan karena tak tahu nama aslinya. Orang segan menanyakan masalah nama aslinya begitu melihat sorot matanya yang hampir melotot. Ibu saya malah memarahi adik lelaki saya yang dilempari Mbah Sabiun Perempuan karena berlarian di depan rumahnya sehingga mengganggu istirahat siang beliau.
Istrinya dikenal galak dan suka melempari anak yang nakal dengan kerikil. Kami memanggilnya Mbah Sabiun Perempuan karena tak tahu nama aslinya. Orang segan menanyakan masalah nama aslinya begitu melihat sorot matanya yang hampir melotot. Ibu saya malah memarahi adik lelaki saya yang dilempari Mbah Sabiun Perempuan karena berlarian di depan rumahnya sehingga mengganggu istirahat siang beliau.
Mbah Sabiun Perempuan lebih
suka makan dengan baskom daripada piring. Sementara anak perempuannya bekerja
serabutan dimanapun yang membutuhkan tenaganya. Kadang ia bekerja mencuci
piring di warung makan,jualan nasi pecel atau jagung rebus keliling kampung
kami.
Mbah Sabiun Perempuan hanya
di rumah, tak henti mengomel tiap waktu. Ada tokek di bilik bambu rumahnya dia
teriak. Ada anak tetangga lewat teriak. Anak perempuannya pulang teriak.
Kasihan sekali, mbak Genduklah yang paling sering diomeli emaknya itu. Sudah
lelah bekerja seharian diteriakin pula.
Orang-orang menganggap mereka
gila. Yang kami ingat mereka punya mbelik, sebuah lubang di tanah untuk menampung air rembesan tebing di
belakang gubuk mereka. Warna airnya kekuningan. Mereka tak punya sumur. Mbah Sabiun Perempuan yang bertubuh kerempeng hanya sesekali
mengambil air di sumur tetangga untuk keperluan memasak. Sedangkan untuk mandi
mereka memakai air mbelik. Yang memilukan tentang air di mbelik itu sebenarnya rembesan saluran pembuangan dari rumah yang letaknya jauh di atasnya.
Tetangga tahu mereka
terhimpit masalah ekonomi. Orang sekampung hanya bisa membantu sebisanya. Kambing-kambing itu
satu persatu menghilang dari kandang untuk dijual. Mbah Sabiun membutuhkan uang
untu berobat. Beliau tak mau meminta uang anak perempuannya.
Ketika saya masuk SMP, Mbah
Sabiun meninggal dunia. Tak ada tradisi 40 hari kematian, 100 hari dan nyewu (1000 hari). Tak ada biaya untuk
menyelenggarakannya. Ada seorang tetangga yang bilang kematiannya seperti
kematian seekor kucing, sunyi dan terlupakan. Mbah Sabiun Perempuan, istrinya
tercintanya yang sakit-sakitan menyusulnya beberapa tahun kemudian. Akhirnya
rumah itu dijual, buat modal mbak Genduk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke
Hongkong.
Keluarga Mbah Sabiun hidup dalam
kesulitan bertahun-tahun. Mbah Sabiun mendapatkan kesenangan sederhananya
ketika melihat tawa anak-anak yang mengoloknya. Mbah Sabiun Perempuan melegakan
kegundahannya dengan mengomel. Mbak Genduk bekerja keras hingga pulang malam
untuk menghindari omelan emaknya.
Saya bisa memahami mereka
kini, saat saya sudah berumah tangga dan menemukan bermacam masalah dalam
kehidupan ini. Kesulitan menjadi indah ketika menemukan cara
menyikapinya.
Ya Allah lapangkanlah kubur
kedua orang tetangga saya ini. Maafkan kami yang tak bisa membantunya semasa
hidup.
“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar