Selasa, 09 Februari 2016

Masa SMA,Tiada Sesal Pernah Melewatinya


“Sit, jadi nggak ke sana?” tanya seorang teman yang berjilbab putih pada pergantian jam pelajaran.

Saya mengangguk. Kami kabur ke sebuah perumahan baru di Meteseh,Semarang. Cara menghindari pelajaran Geografi yang tak kami sukai. Bukan pelajarannya yang bikin gerah. Toh waktu SMP pelajaran Geografi adalah pelajaran favorit saya. Guru pengampunya itu loh, bikin risih kalau bicara. Apakah menerangkan perbukitan dan ketinggian daerah, berasosiasi pada tubuh perempuan. Astaghfirullah.

Awalnya kami berdua saja yang kabur dan balik lagi ke kelas setelah pelajaran Geografi selesai. Satu per satu kawan perempuan mengikuti kami. Perasaan kita sama-sama risih. Kelak, bagian kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi saya yang ternyata akan berprofesi sebagai guru yaitu untuk berhati-hati dalam bicara kepada murid.

Selain pelajaran Geografi ,ada satu lagi neh… pelajaran Bahasa Arab. Pangampunya seorang bujangan yang menurut kami sering memberi pertanyaan-pertanyaan kepada murid perempuan sambil berjalan mendekati meja-meja siswi yang mendapat pertanyaannya. Matanya itu terkesan genit. Mungkin Pak Guru lagi sudah mentok memberi pertanyaan pada teman-teman cowok. Maklum anak cowok, diberi pertanyaan apa malah dijawab dengan diam sambil nyengir. 


Saya dipanggil kepala sekolah. Dengan sikapnya yang kebapakan, beliau bisa mengerti alasan kami.

Tak banyak cerita asik saat SMA. Awalnya saya niatkan selama SMA akan fokus hanya belajar, benar-benar belajar semirip kutu buku berkacamata itu. Namun dalam keseharian, saya pasti bersosialisasi dengan teman dan guru di sekolah. Saya memiliki teman-teman yang terbatas. Bukan karena saya pilih-pilih teman,tapi ada perasaan minder dan kehati-hatian yang menguras stok kekuatan saya. Yup… saya dicap seorang pendiam. Masa itu, 20 tahunan yang lalu (cieee… ketahuan produk jadoelnya) di SMA, mengenakan jilbab seperti menjadi bagian dari segelintir kecil makhluk asing di sekolah, meski bersekolah di sekolah berlabel Islam.

Duapuluh tahun berlalu, masya Allah, tuir bingit yak! Sampai-sampai foto-foto dengan teman SMA pun sudah blur karena dipotret dengan kamera manual biasa. Maluk di upload, ntar ada teman SMA yang melihatnya bagaimana, lalu melayangkan somasi penghapusan blog sederhana saya ini,bagaimana? hahaha... 

Minder,karena saya berpenampilan biasa, tak ada yang saya banggakan dengan penampilan jilbab saya. Entah mengapa saya harus minder saat itu. Jika mengingatnya, saya berkata betapa saya tak bersyukur dengan kesederhanaan. Kesederhanaan itu justru menempa saya untuk meraihnya di masa depan. Contoh kecil, orangtua saya membelikan peralatan sekolah yang biasa saja sesuai kemampuan mereka. Saya sering berharap bisa ikut bimbingan belajar seperti teman lain. Namun sadar dengan kemapuan finansial ibu, satu-satunya orangtua yang ada. Saya sering melamunkan andai mmengenakan jilbab putih yang tepiannya dihiasi border bunga seperti yang dikenakan beberapa teman cewek pada hari Jumat. Di sekolah saya dulu, memakai seragam sekolah putih-abu dan olah raga berlengan pendek. Hanya di hari Jumat diwajibkan mengenakan berbusana panjang dan jilbab. 

Apalagi sejak ikut kajian Islam di masjid kampung, saya mengenal arti pacaran dalam agama saya. Meski pernah naksir pada kakak kelas,cukup disimpan rapi dalam hati. Kalaupun ada teman cowok yang menyatakan suka, saya ucapkan terima kasih telah memperhatikan saya.

Pernah saya berjalan dengan satu teman cewek yang berjilbab rapi, dibelakangnya ia diikuti pacarnya. Akhirnya saya berpamitan untuk mendahuluinya pulang.
Saya cukup berhati-hati dalam berkawan. Bukan tanpa alasan, beberapa teman yang berjilbab pun ketahuan mengikuti aliran sesat , sebut saja Ahmadiyah dan LDII (silakan googling kesesatan kelompok-kelompok ini).

Terhadap teman yang tak berjilbab, sebenarnya saya tak banyak mempermasalahkan ketidaksiapan mereka berjilbab. Saya sangat menghargai pendapat mereka yang masih berproses untuk berjilbab, atau alasan teman cewek yang tak akan berjilbab. Sungguh saya tak mempermasalahkan.

Kehati-hatian saya memilih teman kadang dipersepsikan sebagai angkuh. Saya sadari itu, saya tak tahu harus bagaimana menjelaskan. 

Saya menyukai pelajaran matematika. Walikelas saya saat kelas 1 SMA bernama Pak Soekengrat yang terkenal angker seantero sekolah. Karena sering mendapat nilai bagus (ehmm…) jadilah saya dipanggil anaknya Pak Soekengrat. Saya tahu itu ledekan teman-teman. Mereka juga mengakui dibalik keangkeran Bapak walikelas satu ini, ada kebaikan dan keteguhan dalam memegang prinsip Islam.


Saya tidak pernah menyesali apa yang pernah saya lewati sepanjang SMA. Tak ada hutang dalam bentuk apapun pada teman dan guru saya. Tak ada kisah cinta sepanjang sekolah sehingga tak ada teman cowok yang patut mengenang saya sebagai mantan,hahaha…. 

Yang ada hanya kenangan bahwa saya pernah masuk SMA Muhammadiyah 1 Semarang.

Allhamdulilah masih berkesempatan bersua mereka kembali lewat Facebook.  Dan di Facebook inilah saya selalu ingin mengoreksi pendiamnya saya dulu bukanlah kejahatan dan berusaha menjalin silaturahim dengan cara berkometar dengan sopan di status mereka. Tak lupa saya memohon maaf jika ternyata saya dulu pernah berbuat salah menurut mereka. Life is must go on.

Inilah kisah saya di masa SMA. Bagaimana dengan Anda? Ceritalah dan ikutkan ke GA Nostalgia Putih-Abu






Tidak ada komentar:

Posting Komentar